Tanjungpinang, Infotoday.id – Politisi Hanura, M Rona Andaka, heran dengan DPRD Tanjungpinang yang senyap terhadap permasalahan di PT. Tanjungpinang Makmur Bersama (TMB) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) setempat.
Ia angkat bicara terkait sejumlah persoalan yang terjadi seperti dipecatnya Dirut dan Direktur PT. TMB BUMD Tanjungpinang, Fahmy-Irwandy, tunggakan gaji karyawan, merugi dan lain-lain.
Soal dipecatnya dua direktur tersebut, ketika dilakukan pemberhentian, kata Rona adalah hak dari pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB).
“Bahwa pemberhentian itu adalah hak dari pemegang saham melalui RUPS-LB, boleh saja,” katanya.
Rona mengungkapkan, ada tanggung jawab DPRD dalam arti pembentukan hingga seleksi Direksi BUMD melalui parlemen di daerah.
“DPRD punya tanggung jawab moral terhadap proses seleksinya. Seharusnya legislator angkat bicara atau memanggil kedua belah pihak yaitu pemerintah maupun BUMD. Tujuannya mendudukkan perkara BUMD,” tuturnya.
Selain itu, sambung Rona, yang paling urgen saat ini adalah gaji karyawan sudah 6 bulan belum terbayarkan.
“Itu tanggung jawab yang harus diselesaikan. Bagaimana pula orang yang kerja terikat tapi selama 6 bulan gaji belum dibayar. Kan gitu kan. Apalagi ini adalah perusahaan pelat merah milik pemerintah. Saya melihat kenapa DPRD-nya senyap saja terkait masalah ini,” ungkapnya.
Seharusnya, kata dia, DPRD ikut andil tanggung jawab moral menyelesaikan permasalahan di BUMD. Hanya saja sampai saat ini tidak ada satu pun legislator Tanjungpinang yang berstatement.
“Itu yang saya tangkap,” ucapnya.
Rona menegaskan, untuk hak karyawan wajib dibayar. Karena, karyawan tidak dalam posisi tatanan manajerial pengelolaan perusahaan.
“Selagi mereka berstatus karyawan wajib mendapatkan hak-haknya. Makanya di awal tadi saya bilang DPRD harus menyikapi masalah ini. Karena ada hak dan rezeki orang,” katanya.
Ditanya soal Dirut dan Direktur apakah wajib mendapatkan haknya, Rona menyebut dilihat dari pakta integritas.
“Kalau Dirut dan Direktur dilihat lagi apakah ketika mereka terpilih ada pakta integritas,” ucapnya.
Sepengetahuan Rona, beberapa BUMD di Indonesia ada yang memang direksi membuat pakta integritas kepada pemegang saham yang isinya jika direksi tidak dapat menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) maka gaji Dirut dan Direktur dipotong.
“Misalnya begitu. Nah saya tidak tahu apakah Kota Tanjungpinang seperti itu atau tidak,” katanya.
BUMD, menurut Rona, masih diperlukan untuk daerah. Soal BUMD mengelola pasar atau bisnis yang lain perlu ditinjau kembali. Di sisi lain BUMD juga sebaiknya melaksanakan bisnis yang tidak umum. Bisnis yang tidak semua orang pernah jalankan.
“Ketika BUMD diciptakan untuk bisnis, maka kondisi psikologisnya dibangun untuk bisnis,” katanya.
Ditanya soal penyertaan modal, Rona menyebut tergantung pengajuan. Semisal pemerintah punya modal, BUMD ajukan dan pemerintah menilai apakah penyertaan modal perlu atau tidak.
“Saya gak tahu apakah direksi yang sekarang pernah mengajukan itu ke pemerintah. Kalau memang direksi pernah mengajukan penyertaan modal dan memaparkan rencana bisnis ke pemerintah dan tidak ditanggapi, maka DPRD harus mengambil sikap terkait masalah ini. Kalau perlu bentuk Pansus,” paparnya.
BUMD, tegas Rona, tidak bisa dibubarkan begitu saja. Karena, bisa berdampak terhadap investasi.
“Bagaimana investasi luar mau percaya berinvestasi di Tanjungpinang ketika pemerintahnya saja tidak bisa menjaga dan mengelola perusahaannya (PT. TMB). Logikanya kan begitu,” tutupnya yang juga Ketua DPC Hanura Kota Tanjungpinang.
(dar)